Rabu, 06 Mei 2009


SEMIOTIKA DALAM “YANG LAIN”

Oleh: Ahmad Kekal Hamdani*

Prologue


Ada keakraban tersendiri ketika saya menyelami lukisan “Yang Lain” karya Mak Yek ini, sebuah ketercabikan, sebuah pertarungan personal yang akut dan sadis. Bagaimana ketika diri personal harus kembali memilah-milah diri dalam mencari eksistensi keberadaan self (ke-aku-an) dan the other yang kerap hadir dalam psiko setiap manusia. Bahwa manusia memang makhluk evolusionis, sesuatu yang tidak selesai dan terus berkembang menuju titik pemberhentian (yang mungkin tidak pernah ada). Walau tidak mengetahui secara pasti, manusia selalu memiliki pijakan atau ruang di dalam dirinya untuk kembali mengiris-iris epistem diri yang beku dan mampat, mencairkan kembali seluruh pengertian tentang ke-diri-an. 
Di dalam keberadaan manusia terdapat kebohongan-kebohongan form (bentukan). Sebab wadag yang kita pahami sebagai realitas fisik manusia pada dasarnya adalah alamat manusia untuk membohongi diri sendiri dan orang lain. Wadak akan segera menjadi properti-properti handal dalam mengkomunikasikan serta mentransfer kebohongan-kebohongan itu secara semiotis kepada objek pembaca (orang lain). Dan apa yang kemudian saya tangkap dalam lukisan “Yang Lain” ini adalah fenomena bagaimana prosedural pencacahan itu terjadi dan membentuk implikasi dari kebohongan-kebohongan yang ingin dikonstruk oleh pribadi. Bahwa kita, selalu berada dalam suatu kondisi dimana tubuh selalu mengurai dari saat ke saat. 

Contoh kasus dapat kita pahami dimana kecenderungan bagi manusia modern adalah melarikan diri. Membentuk keutuhan lain di luar dirinya, lantas menjadikannya sebuah transformatif tubuh (rumah lain bagi ketenangannya). Terkadang orang akan lebih puas –percaya diri- bila hadir sebagai visual digital di layar komputer (ruang maya) dari pada realitas fisik. Kenyataan-kenyataan rekonstruksi digital dan wujud semu inilah yang mungkin menjadi salah satu bukti bahwa manusia memiliki keterwakilan dalam dirinya. Manusia menjelma sebuah esensi yang terus mencari pengembaraannya melalui labirin-labirin penampakan. Seperti hantu yang tak sampai ke surga. 

Pribadi (Self) dan Perang Penandaan

Dalam pendekatan semiotik, konvensi semiotis tidak lantas bisa dienyahkan begitu saja. Apa yang terjadi terhadap lukisan “Yang Lain” karya Prayitno alias Makyek ini mungkin bisa mewakili bagaimana semiotika dapat melakukan pembacaan terhadap objek estetis, dengan tetap mempertimbangkan konvensi semiotis sebagai partner menafsirkan sebuah objek bersignifikasi. Sebab sebuah karya seni bukan hanya persoalan inferensi akan tetapi bagaimana tanda-tanda pada alam –simbol yang terjadi akibat proses kreasi- lantas menjadi sebuah konvensi perlambangan yang memiliki kriterianya masing-masing dalam masyarakat. Sesuatu yang personal, yang uniqum, lantas menjadi lumer sebagai konvensi sosial. 

Di dalam sebuah pengantar bukunya, Umberto Eco berpendapat bahwa apa yang di katakan Pierce bahwa semiotis itu dapat diandaikan atau disamakan dengan Inferensi adalah tidak sepenuhnya benar, sebab bagi Eco aktus-aktus inferensi yang mungkin kita temukan seperti dalam fenomena bahwa layang-layang terbang sebab tertiup angin, kita mengetahui ada hujan turun karena gemuruh guntur, atau sesuatu implikasi lainnya yang merujuk pada sesuatu yang menjadi penyebab sebelumnya bukanlah aktus-aktus semiosis itu sendiri. Sesuatu dapat menjadi tanda yang mandiri terlepas dari penghubung sebelumnya dan bersignifikasi dengan subjek pembaca. 

Oleh sebab itu, wilayah kesenian (dalam hal ini seni rupa) terkadang terlepas dari sebab akibat (kausalitas) diskursus. Seni secara luas terkadang bukan untuk menggambarkan masa lalu. Seni bukan objek atau sebuah potret sejarah. Akan tetapi sebaliknya, berkesenian adalah meramalkan masa depan merekonstruksi sebuah sejarah masa depan. Apa yang dilakukan oleh seniman adalah membangun kemungkinan terbaru dari sebuah periode. Disinilah hakikat penciptaan dan berkesenian mestilah dipertanggung jawabkan. Dimana kemampuan reproduksi penandaan berperan penting dalam membahasakan secara estetis setiap wacana-wacana subjektif seniman maupun kegelisahannya.

Dan konsep kedirian yang mungkin dihadirkan oleh lukisan ini barangkali adalah sebuah pembacaan untuk kembali membangun konstruk kedirian yang gagal. Di mana manusia dihadapkan pada peperangan penandaan di dalam dirinya sendiri yang kerap meluluh lantakkan identitas. Tubuh pada akhirnya bukanlah identitas atau semiosis dari keberadaan manusia yang utuh, ia berevolusi dan menjelma seperti apapun secara nonintensional, mengabur, memadat, mengurai, menguap mencari dirinya sendiri. 


Poskrip

Apa yang kemudian menjadi sasaran di lukisan ini? Tentu saja saya tidak benar-benar tahu, saya hanya memposisikan diri saya sebagai sebuah korban, sebagai sebuah papan dimana konsepisi-konsepsi saya sendiri diputar-putar dan mencari kemungkinan terdekat dengan subjektifitas itu sendiri. Oleh karena itu sebuah pembacaan adalah sebuah peralihan dari subjektifitas satu ke subjektifitas yang lainnya. Apa yang terjadi selanjutnya adalah dipasrahkan kepada anda (pembaca) untuk kembali mengurai diri sendiri serupa yang anda inginkan. Secantik yang anda inginkan, paling tidak untuk kembali mengaca diri sendiri di depan cermin dan mengiyakan bahwa anda memang ada dan sedan tersenyum di depannya.

 





 


 

Sabtu, 07 Maret 2009

Dari Balik Budaya Sunyi



- MemiroA -

Sebuah Perjalanan Kreatif Kepenyairan
Ahmad Kekal Hamdani


“ Tidak ada yang abadi didalam hidup kecuali hidup itu sendiri “




Jam lima dini hari terminal masih sepi hanya lalu lalang para kondektur yang siap membawa orang-orang pergi. Jam lima dini hari pasar lengang kegiatan baru digelar, tikar-tikar pandan, bau amis anyir daging-daging korban penjagalan. Jam lima dini hari bangku-bangku kelas masih kosong, kursi-kursi taman sendiri meratap nasibnya yang kosong. Jam lima dini hari burung-burung mulai berkicau di reranting sebagian di kabel listrik.

Jam lima dini hari, kring …!: Nak betulkan kerahmu !, ya halo, ada yang bisa saya bantu. Awas klakson bengkak. Heri tutup pintunya !. aku sedang sibuk,…pergi!. Menikung pak, ya lalu belok kematamu dan hunuskan pedangnya. Maling…tolong, maling!. Baiklah pemirsa demikian berita kriminal pagi ini. Turunkan BBM, atau kita akan menjahit mulut. Di kulkas ada daging, makanlah!. Asap, kabut, gelap, bising. Jam lima dini hari lesap. Bubarkan!orang-orang berlesatan menjinjing tas penuh janji dan kepala dengan jam weker ditelinganya. Jika anda memilih saya maka, maka. Banjir, ada ombak di almari. Kapan kau genapi janjimu ?. baiklah besok aku akan mampir kerumahmu…tut. Bip…bip, bip. Ponselku mati. Kau punya pulsa ? nyawaku hilang !.

“ Jangan percaya pada cita-cita sebab ia membunuh kenyataan “

Benar, siapa yang telah membikin hidup seperti ini ?. ada orang-orang yang sibuk membikin garis, melukis route menuju kota lain. Ada yang mengarak layang-layang sembari menenggelamkan dirinya kepantai. Hidup menjadi sporadis, rumit, bahkan berantakan. Tapi tersistem dalam keteraturan yang abstrak dan menakjubkan. Dengan hukum kemungkinan yang tak terduga. Seperti sebuah labirin yang membikin kita takut dan ngeri pada jalan pulang. Yah, seperti ada yang bersengaja membunuh, mencuri, memperkosa, dan mengajarkan ajaran sesat tentang bagaimana mencuri surga. Akh …tapi ada yang dengan sabar menyirami bunga di taman. Ada yang murung dipinggir kali menatap alir sungai mati. Mengapa ?.

Ada yang memintal cita-cita dengan belati dan ambisi. Kita tersesat dalam rimba yang penuh binatang buas, jika tak memakan maka andalah makanannya. Ssst, ada yang sedang bermunajat disudut kamar mengingat wajah tuhannya yang terkapar.

Setiap orang menyimpan belati dipunggungnya. Jangan pakai peta, sebab peta adalah bajakan. Siapa yang bilang puisi adalah kejujuran ?. siapa yang berteriak bahwa puisi adalah kemunafikan ?. Puisi adalah lorong yang menghubungkan keduanya. Puisi adalah bom yang meluluh lantakkan dinding pembatas antara keduanya. Puisi juga lidah. Dengannya kau dapat menjilati kemunafikan, atau sebaliknya : kejujuran. Dan penyair selalu dengan murah hati dan dada lapang bersedia meledakkan bom-bom itu ditengah-tengah kota. Kabooom,!.

“ Jika hingga nanti aku ada, percayalah! Itu hanya waktu yang memintal ketiadaannya sendiri. Namun: jika nanti aku tak ada, percayalah! Sesungguhnya aku memanglah tak pernah ada “

beberapa saat sebelum buku ini di terbitkan, seorang sahabat bertanya kepada saya “mestikah kau antologikan puisimu, sebenarnya apa motivasimu ?” dengan tegas saya menjawab “ sebab saya ingin bunuh diri !”. Ia (sahabatku) tersentak dan merasa jawaban ini tak logis dan tak rasional, ia memberi saya beberapa saran! Dan terima kasih, hal itu teramat berharga bagi saya.
Wal hasil, pertanyaan itu terus menghantui saya hingga beberapa lamanya, mestikah saya mempunyai alasan logis atau rasional ? yang saya tahu rasionalitas adalah ruang yang sangat rapuh : rentan manipulasi. Ketika saya membikin suatu pembenaran, kesalahan-kesalahan itu menyusul seperti biji kelereng yang di tembakkan ke muka saya, pedih dan memar. Tapi bukankah dalam peperangan hidup ini : kekalahan itu mesti, yah! Ini adalah sebuah usaha bunuh diri, Born to die. Jika Nietzche mengatakan ia sudah memotong tali jangkar, dan menghancurkan pulau, serta berlayar tanpa batas pada samudera lepas, menghadapi serta berkata ya pada arus gelombang hidup. Maka saya adalah orang bodoh yang melompat ke samudera, tenggelam didalamnya, menyerahkan diri saya sepenuhnya! Menjadi samudera. Apakah saya perlu memberikan alasan pada anda ? kita, benar-benar dipapah menuju kekalahan-kekalahan itu dan bertanya “ adakah pemenang dalam pertempuran ini ?”. dan anda pembaca (melalui teks ini) merdeka dalam membunuh saya, mencabik tubuh saya, atau menghidupkannya, serta memajang nama saya dikamar anda yang penuh mimpi.

Sebab manusia, bagaimanapun kesempurnaannya bukan semata terletak pada kecerdasan dan hal positif (bersifat samawi:suci) lainnya. Tetapi juga kebodohannya, kekejamannya, ambisinya, kecerobohannya. Kita mesti bergerak dari satu titik ke titik yang lainnya, membikin semacam tarian. Bukankah yang diam adalah yang mati. Sebab keabadiaan itu adalah : menari. Ha ha ha … mestikah saya membikin alasan untuk semua ini? Anda bebas membunuh, mencuri, memperkosa, merampok, bersedekah, beribadah, berpolitik. Tetapi : apakah anda (mungkin juga saya) berani menghadapi segala konsekuensi. Ha ha ha … kita bahkan tidak tahu, kita di gerakkan oleh keberanian atau justru oleh rasa takut - paradoks.

“ Milikmu adalah kenanganmu.”

Semenjak kecil saya memiliki keraguan terhadap waktu. Siapa dengan diam-diam telah membuat seseorang datang dan pergi begitu saja ?. Dimana waktu bisa kita jamah ?. apakah ada waktu jika seluruh semesta diam dan beku?. Bahkan keraguan itu sering menghantui saya hingga kini.

Jika waktu adalah keharusan. Maka ia adalah pencuri, ia adalah perompak, yang mencuri dan merampas apa saja. Kecuali kenangan, ia memberikannya seraya berkata “ milikilah kenangan itu “ seraya menyerahkan nasib kenangan itu kepada saya entah untuk dilupakan atau sebaliknya : diabadikan.

Lalu : saya gelisah dan cemas, karena merasa waktu terlampau berlebihan merampas apa yang saya miliki. Saya mulai membikin sketsa-sketsa kecil dibuku, ditembok, atau dikamar mandi tempat dimana kerap kita membuang ampas. Saya menjadi pribadi yang sibuk mengabadikan kenangan : semacam membangun museum dikepala saya. Saya merasa berjalan mundur menghadapi masa depan dan tak benar-benar ada di zaman ini. Tak ada disini, di jam ini, tak ada dimanapun : didekatmu. Kerap saya gila memikirkannya, lampu-lampu pijar dikepala saya aktif. Saya tenggelam dan menyadari bahwa saya terlampau sibuk dengan diri sendiri. Saya tak lagi hidup didunia ini, tapi dunia lain : dilangit ke-8.

Hingga suatu hari (awal 2004) seorang gadis dari kota kelahiran saya mengirimkan beberapa bait puisi ke alamat saya di Madura. Puisi itu milik Sapardi Djoko Damono “ Aku ingin “. Sayapun tergerak untuk membaca puisi-puisi lain di perpustakaan, di toko buku, atau pinjam milik teman. Saya hanyut dalam puisi-puisi itu, saya mencari puisi lainnya yang bisa saya temui, di trotoar, di ladang, atau dimana saja. Dan saya menemukan kepingan-kepingan kenangan yang tercecer didalamnya, didalam puisi. Sebuah kenangan yang hidup : sebuah MemiroA, yah demikian saya menyebutnya.

Terkadang kenangan (Memiroa) itu menjelma seorang gadis yang tiba-tiba merangkul lengan saya. Membawa saya pergi untuk menari dibawah kaki hujan sambil berteriak “ bukankah ini puisi, yah ini puisi “ teriaknya. Hujan yang berbeda : hujan yang membuat bunga-bunga menari, pohon-pohon bergoyang, gedung-gedung berjingkrak-jingkrak. Hujan di dunia Memiroa, hujan yang harum.

Akhirnya saya menulis puisi, saya menulis perjalanan saya di negeri Memiroa. Saya membuat senjata dan jaring-jaring melawan waktu, - siapa yang lebih cepat menangkap kenangan itu. Waktu merampas apa yang saya miliki dan sayapun mencuri apa yang dibawakan waktu kepada saya, bahkan sebelum ia menjabat beranda dirumah saya. Ha…ha ha, saya bahagia sekali. Lalu kenangan menjelma sesuatu yang teramat penting dalam hidup saya, milik saya.

Bukankah setiap kita memiliki kenangan?. Kenangan itu memberi hidup kepada jiwa, memberi rasa pada indera, serta memberi daya pada raga. Kenangan itulah yang membuat saya yakin bahwa saya meng-ada. Kenangan dengan arsitektur imajiner itu saya tumbuhkan bak sebuah negeri dengan kota-kota yang indah, dengan empat musim : diam, sepi, sunyi dan mati. Disana juga ada pabrik-pabrik, tapi tentu saja tanpa polusi dan limbah. Tanpa global warming, juga pelabuhan yang tidak menyakiti laut. Ada senja yang biru kemerah-merahan dengan gambar wajah ibu yang teduh. Ah…mampirlah.

Tapi, ada yang lamat membuat saya cemas. Lazimnya sebuah teks : kota Memiroa kerap seperti mendeklarasikan dirinya sebagai sesuatu yang bebas dari apapun, bahkan dari diri saya sendiri. Sebuah kota tanpa aparat, tanpa negara : di mana semua kemungkinan berjalin kelindan membentuk jutaan ambiguitas yang bertabrakan di kepala saya. Sebuah lorong yang tak berpenghujung. Dan saya, mungkin juga anda akan di paksa untuk berjudi dengan segala kemungkinan dan konsekuensi. Kocok dadunya…lantas nasibpun bergulir begitu saja. Ah ! lantas tubuh saya seperti mengalamai dekonstruksi akut yang tak terselamatkan.

Lalu : kenangan- kenangan itu di rajut dalam sebuah relasi rumit serta sambung menyambung dalam tubuh saya. Sebuah kota : Memiroa. Yang selamanya tak berhasil menemukan bentuknya : dibangun – lalu dihancurkan. Lantas saya remuk, mencari, tak bertumbuh dan terhanyut dalam pencarian wadah : usaha menemukan bentuk yang tak pernah terjadi. Disini, cita-cita dan keputus asaan berbaur seperti susu dan kopi, minumlah!.

Kerap saya tenggelam didalamnya, menjadi bagian dari nyayian sunyi. Menikmati diam, menyukai kesendirian, merindukan mati. Ada seorang gadis didalamnya yang mengajak saya janji bertemu di dua pantai. Kerinduan itu begitu berbunga, menyaripati tiap tetes darah, mengkontaminasi tiap hela udara yang berpendaran ditubuh saya, menyukma.

Lalu saya berfikir, mengapa kita mesti hancurkan kenangan?. Mengapa mesti melupakannya ?. ternyata tidak semua manusia dapat menjaga kenangannya, menghargainya. Terkadang kita memerlukan alat bantu untuk membuat kenangan itu tidak pergi begitu saja : potret, lukisan atau bahkan museum. Mengapa tidak kita hidupkan saja kenangan itu, menjadi Memiroa, kota kenangan.

Dengan antologi yang ada ditangan pembaca ini, saya ingin mengajak pembaca mampir sejenak di kota saya. Tenanglah …disini tak ada perampokan, pemerkosaan, apalagi pembunuhan. Saya telah menyediakan transportasi kata yang tak sedikitpun memerlukan bahan bakar minyak, kecuali sedikit nurani yang lunak. Anda tak perlu memakai masker disini tak ada polusi, kecuali ampas-ampas perih yang ramah. Mampirlah !, anda bisa melihat bocah yang mengerek dan melempari bulan lalu menenggelamkannya di pantai. Mampirlah !
Akhirnya dengan segala kerendahan hati saya persembahkan antologi ini, semoga bermanfaat. Dan dengan segala kerendahan itu pula saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya jika ada kenangan anda yang saya rampas di puisi saya.



Kekal, 2008

Catatan:

1. Tulisan ini di rencanakan akan menjadi pengantar penulis dalam antologi tunggalnya “Rembulan di Taman Kabaret” yang di rencanakan dirilis pertengahan 2008. Namun atas alasan yang sangat eksistensialis buku itu diurungkan untuk menjadi kumpulan puisi pertamanya. Kini puisi-puisi itu terkapar (tersebar), memilih hidupnya sendiri.